Kerajaan Pontianak
lambang Kesultanan Pontianak |
1. Sejarah
Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat
adalah kesultanan termuda di nusantara, bahkan di dunia, karena
kesultanan ini didirikan relatif paling terakhir dibandingkan dengan
kemunculan kesultanan-kesultanan lainnya (Syarif Ibrahim Alqadrie,
1979:12). Pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kesultanan yang lahir
dari perpaduan kebudayaan Arab, Melayu, Bugis, dan Dayak ini resmi
didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alqadrie (Ansar Rahman, et.al, 2000:xxvii).
a. Riwayat Berdirinya Kesultanan Kadriah – Pontianak
Syarif
Abdurrahman Alqadrie yang menjadi sosok sentral atas berdirinya
Kesultanan Kadriah Pontianak di Kalimantan Barat adalah putra dari Sayid
Habib Husein Alqadrie, seorang penyiar agama Islam asal Timur Tengah.
Husein Alqadrie dilahirkan pada tahun 1706 M di sebuah kota kecil
bernama Trim di Hadramaut (Yaman Selatan). Setelah mendalami ajaran
Islam dan ilmu pengetahuan lainnya selama lebih dari 4 tahun, Husein
Alqadrie berkeinginan merantau ke negeri-negeri timur. Keinginan itu
didukung oleh tiga kawan seperguruannya yakni Sayid Abubakar Alaydrus,
Sayid Umar Assegaf, dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi (Mahayudin Haji
Yahya, 1999:224).
Dalam
perantauannya, keempat pendakwah itu tiba di Terengganu (sekarang
termasuk wilayah negara Malaysia). Dari Terengganu, mereka kemudian
menuju ke Aceh.
Di sinilah keempat sahabat itu berpisah. Sayid Abu Bakar Alaydrus
tetap tinggal di Aceh, Sayid Umar Bachsan Assegaf meneruskan perjalanan
ke Siak,
dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi kembali ke Terengganu (Rahman,
2004:16). Sedangkan Husein Alqadrie sendiri melanjutkan perjalanannya
menyusuri Pantai Timur Sumatra menuju ke Pulau Jawa untuk mengunjungi
negeri-negeri Islam yang dilaluinya, termasuk Palembang, Banten,
Cirebon, Demak, Mataram, Jawa bagian timur, dan Betawi (Yahya,
1999:224-225).
Husein Alqadrie kemudian menetap di Semarang selama dua tahun. Dari Semarang, ia menyeberangi lautan hingga sampai di wilayah Kesultanan Matan
di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran Husein Alqadrie disambut baik
oleh keluarga Kesultanan Matan yang waktu itu dipimpin oleh Sultan
Muhammad Muazzuddin (1724−1738 M). Husein Alqadrie berhasil menawan hati
warga Kesultanan Matan karena tidak lama setelah kedatangannya, Husein
Alqadrie diangkat menjadi hakim/qadhi kesultanan oleh Sultan
Muhammad Muazzuddin. Bahkan oleh rakyat Matan, Husein Alqadrie sangat
dihormati seperti layaknya seorang wali (Musni Umberan, et.al., 1995:46-47).
Tidak
hanya itu, Husein Alqadrie kemudian dinikahkan dengan anak perempuan
Sultan Muhammad Muazzuddin yang bernama Nyai Tua. Dari perkawinan itu,
Husein Alqadrie dikaruniai 4 orang anak, yaitu Syarifah Khadijah, Syarif
Abdurrahman Alqadrie, Syarifah Mariyah, dan Syarif Alwie Al-Qadrie.
Syarif Abdurrahman Alqadrie dilahirkan pada tahun 1739 M (Alqadrie,
2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Pada
tahun 1738 M, Sultan Matan, Sultan Muhammad Muazzuddin, wafat dan
digantikan Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749 M). Husein Alqadrie masih
bertahan di Kesultanan Matan hingga Sultan Muhammad Tajuddin
digantikan oleh Sultan Ahmad Kamaluddin (1749−1762 M). Pada masa ini,
Husein Alqadrie berselisih paham dengan Sultan Ahmad Kamaluddin tentang
kebijakan hukuman mati. Ketidaksepahaman ini membuat Husein Alqadrie
beserta keluarganya meninggalkan Matan pada tahun 1755 M dan beralih ke
Kesultanan Mempawah yang kala itu dipimpin oleh Opu Daeng Menambun
(1740-1766 M) (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Rombongan
Husein Alqadrie disambut suka-cita oleh keluarga Kesultanan Mempawah.
Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar
Kesultanan Mempawah. Atas izin Opu Daeng Menambon pula, Husein Alqadrie
menempati daerah Kuala Mempawah atau Galah Herang yang menjadi tempat
di mana ia mengajarkan Islam. Untuk mempererat hubungan antara keluarga
Husein Alqadrie dengan Kesultanan Mempawah, maka Syarif Abdurrahman
Alqadrie dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon dari Ratu Kesumba,
bernama Putri Candramidi. Perkawinan ini dikaruniai tiga orang putra dan
tiga orang putri (Muhammad Hidayat, tt: 21).
Kesukaan
Syarif Abdurrahman Alqadrie adalah berkelana, baik untuk berdagang
atau sekadar berpetualang mengunjungi negeri-negeri lain. Pada tahun
1759 M, Abdurrahman Alqadrie mengadakan pelayaran ke beberapa tempat
seperti ke Pulau Tambelan, Siantan, dan Siak. Selanjutnya, pada tahun
1765 M, ia berlayar menuju Palembang. Dua tahun kemudian, Abdurrahman
Alqadrie melakukan perjalanan ke Banjarmasin dan menetap di Kesultanan
Banjar. Pada tahun 1768, Abdurrahman Alqadrie menikah lagi dengan putri
Sultan Banjar yang bernama Syarifah Anum dan mendapat gelar Pangeran
Syarif Abdurrahman Nur Alam (Alqadrie, 2005, dalam
http://syarif-untan.tripod.com).
Ketika
Abdurrahman Alqadrie masih berada di Banjarmasin, dua orang yang
disayanginya wafat. Pada tahun 1766 M, Sultan Mempawah Opu Daeng
Menambon meninggal dunia, kemudian disusul oleh sang ayah, Husein
Alqadrie, yang menghembuskan nafas penghabisan pada tahun 1770 M.
Mangkatnya dua orang yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh
Abdurrahman Alqadrie itu mendorongnya untuk mencari tempat permukiman
baru.
Pada
tahun 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie, di antaranya terdapat
lima putra Opu Daeng Menambon, yaitu Panembahan Adijaya, Syarif Ahmad,
Syarif Abubakar, Syarif Alwie, dan Syarif Muhammad, mulai berlayar untuk
mencari tempat permukiman baru. Setelah 4 hari perjalanan, mereka tiba
di sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer
dari muara Sungai Kapuas. Dari sini, rombongan meneruskan perjalanan
hingga mendekati simpang tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.
Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat lokal di sana, di tempat
inilah rombongan Abdurrahman Alqadrie berperang melawan “makhluk halus”
yang oleh warga setempat disebut dengan nama hantu “kuntilanak”
(Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Menurut
pandangan Jimmy Ibrahim (1971), nama “kuntilanak” tersebut hanya
merupakan kiasan untuk menjelaskan bahwa pengganggu rombongan
Abdurrahman Alqadrie itu adalah gerombolan perompak/bajak laut yang
biasa bersembunyi di persimpangan yang menjorok ke arah Sungai Landak
sebelum melakukan aksinya (Jimmy Ibrahim, 1971:17). Pada akhirnya nanti,
nama “kuntilanak” lambat-laun menjadi “Pontianak” yang tidak lain
adalah nama kota di seberang Istana Kadriah.
Kraton Kadriah Pontiank |
Pada
tanggal 23 Oktober 1771 M, rombongan Abdurrahman Alqadrie berhasil
memukul mundur gerombolan perompak “kuntilanak” di muara Sungai Kapuas
dan Sungai Landak. Pada hari yang sama, rombongan Abdurrahman Alqadrie
berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak menjadi Masjid Jami’,
masjid agung Kesultanan Kadriah Pontianak. Kemudian, rombongan
Abdurrahman Alqadrie mulai mempersiapkan permukiman di sebuah tempat
yang menjorok ke darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman inilah
yang menjadi tempat dibangunnya Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.
Meski sudah merintis pendirian pemerintahan Kadriah Pontianak sejak
tahun 1771 M, namun baru pada tahun 1778 M Abdurrahman Alqadrie secara
resmi dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak dengan gelar Sultan
Syarif Abdurrahman Alqadrie yang berkuasa sampai tahun 1808 M (Alqadrie,
2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
b. Kesultanan Kadriah Pontianak pada Masa Kolonial
Penobatan
Abdurrahman Alqadrie sebagai Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M
dilakukan oleh Sultan Raja Haji, penguasa Kesultanan Riau, dan
dihadiri oleh para pemimpin dari sejumlah kerajaan, termasuk dari
Kerajaan Matan, Sukadana, Kubu, Simpang, Landak, Mempawah, Sambas, dan
Banjar. Abdurrahman Alqadrie memang memiliki kedekatan hubungan dengan
keluarga Kesultanan Riau. Abdurrahman Alqadrie adalah menantu Opu Daeng
Manambon (Sultan Mempawah), sedangkan Sultan Raja Haji adalah putra
Daeng Celak yang tidak lain adalah saudara sekandung Opu Daeng Manambon
(M.S. Suwardi, 1983, dalam Alqadrie, 2005, http://syarif-untan.tripod.com).
Pada
masa itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie)
yang dibentuk sejak 20 Maret 1602, sudah menanamkan pengaruhnya di
Kalimantan Barat. VOC rupanya khawatir melihat hubungan erat antara
Kesultanan Kadriah Pontianak dengan beberapa kerajaan lain dan kemudian
VOC berusaha menghancurkan persekutuan itu. Pada akhir tahun 1778 M,
dari Batavia, VOC mengutus Nicholas de Cloek ke Pontianak untuk
merangkul Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie, tetapi usaha pertama ini
gagal. Selanjutnya, pada bulan Juli 1779 M, VOC mengirim Willem Adriaan
Palm (Komisaris VOC) ke Pontianak. Dengan alasan mendirikan perwakilan
dagang, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Kadriah
Pontianak. Palm kemudian digantikan Wolter Markus Stuart yang bertindak
sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779 – 1784 M) dengan
kedudukan di Pontianak (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Akal
licik VOC rupanya berhasil membujuk Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie
untuk melakukan ekspansi ke wilayah kerajaan-kerajaan yang semula
menjadi sekutu Kesultanan Kadriah Pontianak. Ini berarti VOC juga sukses
mewujudkan misinya, yakni memecah-belah persatuan di antara
kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan bantuan VOC, pada tahun 1786 M,
armada Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di
Sukadana. Kemudian, pada tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman
Alqadrie berhasil menaklukan Kesultanan Mempawah. Oleh VOC, putra sulung
Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie dari Putri Candramidi, Syarif Kasim
Alqadrie, diangkat sebagai Panembahan Mempawah (Hidayat, tt:22).
Pengangkatan yang tidak disetujui oleh Sultan Syarif Abdurrahman
Alqadrie ini diresmikan berdasarkan perjanjian tertanggal 27 Agustus
1787 (Rahman, 2000:109-110).
Syarif
Kasim semakin tenggelam dalam pengaruh Belanda sampai ketika ayahnya
wafat pada tahun 1808. Sebelum mangkat, Sultan Syarif Abdurrahman
Alqadrie sebenarnya telah menetapkan putranya yang lain, Syarif Usman
Alqadrie, sebagai penerus tahta Kesultanan Kadriah Pontianak.
Dikarenakan Syarif Usman masih kecil, maka Syarif Kasim merasa berhak
menduduki singgasana sebagai pengganti ayahnya. Pada tahun 1808 itu,
Syarif Kasim diangkat menjadi Sultan Kadriah Pontianak namun dengan
kesepakatan bahwa ia hanya menjabat selama sepuluh tahun sambil menunggu
Syarif Usman beranjak dewasa. Perjanjian itu diingkari karena pada
kenyataannya Syarif Kasim berkuasa sampai akhir hayat, yakni hingga
tahun 1819.
Di
bawah rezim Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819), Kesultanan
Kadriah Pontianak semakin tergantung kepada pihak-pihak asing, yakni
Belanda dan kemudian Inggris yang berkuasa di Hindia (Indonesia) sejak
tahun 1811. Ketika Belanda kembali menguasai nusantara, termasuk
Pontianak, Sultan Syarif Kasim Alqadrie memperkenankan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda LPJ Burggraaf du Bus de Gisignies (1826-1830)
mendirikan sebuah benteng Belanda di Pontianak yang diberi nama
Marianne’s Oord, yakni nama putri Raja Negeri Belanda, Raja Willem I.
Inilah asal-muasal nama kampung Mariana yang terletak di depan
pelabuhan Pontianak sekarang. Benteng Marianne’s Oord kemudian menjadi
markas tentara Belanda dan sering disebut sebagai Benteng du Bus
(Rahman, 2000:113).
Pada
tanggal 25 Februari 1819 Sultan Syarif Kasim Alqadrie wafat dan
dikebumikan di Batu Layang. Terjadi ketegangan perihal siapa yang berhak
menjadi Sultan Kadriah Pontianak selanjutnya. Di satu pihak, Syarif
Usman Alqadrie dianggap paling layak menduduki tahta Kesultanan Kadriah
Pontianak. Namun di sisi lain, putra Sultan Syarif Kasim Alqadrie yang
bernama Syarif Abubakar Alqadrie juga menginginkan singgasana tersebut.
Di sinilah campur tangan Belanda kembali berperan. Sesuai kesepakatan
sebelum Sultan Syarif Kasim Alqadrie dinobatkan, Belanda kemudian
menunjuk Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855) sebagai
Sultan Kadriah Pontianak ketiga. Untuk meminimalisir konflik, Belanda
memberi gelar Syarif Abubakar Alqadrie sebagai Pangeran Muda dan
kepadanya diberi tunjangan 6000 gulden setiap tahun (Rahman, 2000:118).
Di
luar ketundukannya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, Sultan
Syarif Usman Alqadrie setidaknya pernah menorehkan beberapa kebijakan
yang bermanfaat, termasuk dengan meneruskan pembangunan Masjid Jami’
pada tahun 1821 dan memulai pendirian Istana Kadriah pada tahun 1855.
Pada bulan April 1855, Sultan Syarif Usman Alqadrie meletakkan
jabatannya sebagai Sultan Kadriah Pontianak dan kemudian wafat pada
tahun 1860 dengan meninggalkan 6 orang istri dan 22 orang anak (Rahman,
2000:117-118).
Anak
tertua Sultan Syarif Usman Alqadrie, bernama Syarif Hamid Alqadrie,
dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak yang keempat pada tanggal 12
April 1855. Pada era Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855
– 1872), wilayah Belanda di daerah kekuasaan Kesultanan Kadriah
Pontianak semakin meluas, termasuk di daerah bagian barat Sungai Kapuas
Kecil yang menjadi pusat perdagangan dan pusat pemerintahan Belanda di
Kalimantan Barat. Taktik Belanda yang seperti ini sudah dimulai sejak
era Sultan Syarif Kasim Alqadrie sebagai upaya untuk terus menekan Kesultanan Kadriah Pontianak dan mengecilkan peran Sultan Hamid Alqadrie (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com). Sultan Syarif Hamid Alqadrie wafat pada tahun 1872, meninggalkan 3 orang istri, 3 orang selir, dan 20 orang anak.
Putra
tertua Sultan Syarif Hamid Alqadrie, Syarif Yusuf Alqadrie, diangkat
sebagai Sultan Kadriah Pontianak beberapa bulan setelah ayahandanya
wafat. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak kelima, Sultan Syarif Yusuf
Alqadrie (1872 – 1895), merupakan satu-satunya sultan di Kesultanan
Qadriah yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan, sangat kuat
berpegang pada aturan agama, dan merangkap sebagai penyebar agama Islam
(Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Era
pemerintahan Sultan Syarif Yusuf Alqadrie berakhir pada tanggal 15
Maret 1895 dan digantikan oleh putranya yang bernama Syarif Muhammad
Alqadrie (1895 – 1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak
yang kelima pada tanggal 6 Agustus 1895. Pada masa ini, campur-tangan
Belanda dalam urusan internal Kesultanan Kadriah Pontianak semakin kuat
dengan ikut memaksakan pengaruhnya bahkan sampai dalam hal yang
prinsip, yakni menghapuskan Syariat Islam dan menggantinya dengan hukum
pidana dan perdata (Hidayat, tt:23).
Di
sisi lain, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie sangat berperan dalam
mendorong terjadinya perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia
pertama kali berpakaian kebesaran Eropa sebagai pakaian resmi di samping
pakaian Melayu dan menyokong majunya bidang pendidikan serta
kesehatan. Di sektor ekonomi, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjalin
perdagangan dengan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, dan
Banjarmasin, bahkan dengan Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, serta
India. Selain itu, Sultan juga mendorong masuknya modal swasta Eropa
dan Cina, serta mendukung kaum petani Melayu, Bugis, Banjar, dan Cina
mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak
kelapa. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan
berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat
kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Era
kekuasaan Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menjadi penanda tamatnya
kekuasaan Belanda seiring kedatangan Jepang ke Indonesia pada tahun
1942. Namun, hadirnya balatentara Jepang di Pontianak justru menjadi
petaka bagi Kesultanan Kadriah Pontianak. Pada bulan Januari 1944,
karena dianggap bersekutu dengan Belanda, Jepang menangkap Sultan Syarif
Muhammad Alqadrie (pada tanggal 24 Januari 1944) beserta ribuan orang
kerabat kesultanan, pemuka adat, dan tokoh masyarakat Kadriah Pontianak
(Muhammad Yanis, 1983:170-182). Mereka kemudian dijatuhi hukuman mati pada tanggal 28 Juni 1944. Jenazah Sultan Syarif Muhammad Alqadrie baru ditemukan pada tahun 1946 (Mawardi Rivai, 1995:26). Tragedi berdarah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.
Foto Keraton kadriah Tempoe Doeloe |
c. Kesultanan Kadriah Pontianak pada Era Kemerdekaan RI
Meskipun
proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diumumkan pada tanggal 17
Agustus 1945 di Jakarta, namun situasi politik di Pontianak masih belum
stabil karena berita tentang kemerdekaan Indonesia sangat terlambat
sampai ke Pontianak. Pada tanggal 29 Agustus 1945, di bawah pengawasan
aparat Jepang yang masih bertahan di Pontianak, keluarga Kesultanan
Kadriah Pontianak yang tersisa mengadakan pertemuan guna memilih
pengganti Sultan Syarif Muhammad Alqadrie. Pertemuan darurat ini
akhirnya memutuskan bahwa Syarif Thaha Alqadrie, cucu laki-laki tertua
Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, ditetapkan sebagai Sultan Kadriah
Pontianak yang ketujuh (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Dipilihnya
Syarif Thaha Alqadrie sebagai calon Sultan Kadriah Pontianak
disebabkan karena memang tidak ada pilihan lain. Pasalnya, 4 orang
putra almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie telah gugur akibat
keganasan Jepang, sedangkan seorang putra yang masih hidup, yakni
Syarif Hamid Alqadrie, saat itu masih menjadi tahanan Jepang. Sejak
tahun 1942, Syarif Hamid Alqadrie, mantan perwira kesatuan tentara
Hindia Belanda atau Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL),
dipenjarakan di Batavia (Rivai, 1995:25-26).
Masa
pemerintahan Sultan Syarif Thaha Alqadrie hanya berlangsung selama 3
bulan, yaitu dari bulan Agustus hingga Oktober 1945, karena Syarif Hamid
Alqadrie sudah bebas dari penjara dan kembali ke Pontianak. Syarif
Hamid Alqadrie dinobatkan sebagai Sultan Kadriah Pontianak kedelapan
pada tanggal 29 Oktober 1945 dan bergelar Sultan Syarif Hamid II
Alqadrie atau yang sering dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Sejak
muda, putra sulung almarhum Sultan Syarif Muhammad Alqadrie ini telah
mengenal pendidikan modern. Syarif Hamid Alqadrie menempuh sekolah
dasar di Europeesche Lagere School (ELS) Sukabumi, Pontianak,
Yogyakarta, dan Bandung. Kemudian meneruskan studi ke sekolah menengah
Hogeere Burger School (HBS) di Bandung sebelum pergi ke Breda, Belanda,
untuk melanjutkan pendidikan di sekolah perwira KNIL. Pada tahun 1937,
ia dilantik sebagai perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Dalam
karir kemiliterannya, Syarif Hamid Alqadrie pernah bertugas di Malang,
Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Jawa (Rahman, 2000:
172).
Berdasarkan
konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949, Sultan Hamid II
mengisi posisi sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Selain itu, Sultan Hamid II selalu terlibat dalam berbagai perundingan
penting antara Indonesia dan Belanda. Ketika RIS dibentuk, Sultan Hamid
II diangkat menjadi Menteri Negara dan selama masa jabatan itu, ia
menjadi salah satu orang yang ditugaskan Presiden Soekarno untuk
merancang gambar lambang negara. Presiden Soekarno mengamanatkan bahwa
lambang negara hendaknya mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar
negara, di mana sila-sila Pancasila divisualisasikan dalam lambang
negara (Yayasan Sultan Hamid II Jakarta, 2007, dalam
www.istanakadriah.blogspot.com).
Pada
tanggal 5 Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai
Sultan Kadriah Pontianak dan selaku Wakil DKIB. Selanjutnya, pada
tanggal 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Lencana Negara yang bertugas
menyeleksi usulan rancangan lambang negara. Dalam seleksi tersebut,
terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid
II dan karya Mohammad Yamin. Pemenangnya adalah karya Sultan Hamid II
karena karya Yamin menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan
pengaruh Jepang (Mohammad Hatta, 1978:108). Dengan demikian, Garuda
Pancasila yang menjadi lambang negara Indonesia adalah karya putra
Kesultanan Kadriah Pontianak, yaitu Sultan Hamid II.
Namun,
peristiwa kudeta Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dimotori mantan
Kapten KNIL, Raymond Westerling, pada tanggal 23 Januari 1950,
menyeret nama Sultan Hamid II. Menurut pernyataan Yayasan Sultan Hamid
II Jakarta, Westerling memang sempat menawarkan kepada Sultan Hamid II
untuk mengambil-alih komando namun Sultan Hamid II menolak tegas
tawaran tersebut karena Westerling adalah gembong APRA (Yayasan Sultan
Hamid II Jakarta, 2007, dalam www.istanakadriah.blogspot.com). Namun,
dugaan keterlibatan Sultan Hamid II dalam peristiwa Westerling tetap
membuatnya dipenjara oleh pemerintah RI selama 10 tahun sejak tahun
1953. Sultan Hamid II ditangkap pada tanggal 5 April 1950 (J.U.
Lontaan, 1975:240).
Dengan
dihukumnya Sultan Hamid II, roda pemerintahan Kesultanan Kadriah
Pontianak pun berhenti di mana kesultanan sudah tidak mempunyai
kekuasaan secara politik lagi. Sultan Hamid II selaku Sultan Kadriah
Pontianak yang terakhir, meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1978 di
Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di
Batu Layang.
2. Silsilah
Berikut
daftar para sultan yang pernah memimpin Kesultanan Kadriah Pontianak
sejak awal berdirinya pada tahun 1771 M hingga berhentinya proses
pemerintahan kesultanan pada tahun 1950:
- Sultan Syarif Abdurahman Alqadrie (1771 – 1808 M).
- Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819).
- Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819 – 1855).
- Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).
- Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895).
- Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 – 1944).
- Sultan Syarif Thaha Alqadrie (1945).
- Sultan Syarif Hamid II atau Sultan Hamid II (1945 – 1950) (Hidayat, tt:24).
Sultan Hamid II (Pembuat Lambang Garuda) |
3. Sistem Pemerintahan
Kesultanan
Kadriah Pontianak hampir tidak pernah dapat mengatur pemerintahannya
secara mandiri karena Belanda sudah menanamkan pengaruhnya tidak lama
setelah Kesultanan Kadriah Pontianak berdiri pada tahun 1771 M. Pada
tanggal 5 Juli 1779, Belanda menjadikan salah satu daerah Kesultanan
Kadriah Pontianak, yakni Tanah Seribu atau Verkendepaal yang terletak di
seberang Istana Kadriah Pontianak, sebagai pusat kedudukan Kepala
Daerah Karesidenan Borneo. Selaku wakil pemerintah kolonial yang
membawahi langsung beberapa daerah, termasuk Pontianak, Siantan, Sungai
Kakap, dan lain-lain, Asisten Residen Pontianak (semacam Kepala Daerah
Tingkat II/Bupati Pontianak) (www.pemkot.pontianak.go.id). Sistem pemerintahan seperti ini bertahan hingga pada masa pendudukan Jepang (1942-1945).
Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem pemerintahan Kesultanan
Kadriah Pontianak selalu tergantung dengan kebijakan pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Pada setiap pergantian kepemimpinan kesultanan,
Belanda selalu memaksakan kehendaknya melalui kontrak politik. Ketika
Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808 – 1819) naik tahta menggantikan Sultan Syarif Abdurahman Alqadrie, ia harus menandatangani kontrak politik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada
tanggal 12 Januari 1819. Isi dari kontrak politik antara Sultan Syarif
Kasim Alqadrie dan Komisaris Nahuys van Burgst dari pihak pemerintah
kolonial Hindia Belanda itu antara lain:
- Kekuasaan atas pemerintahan Kesultanan Kadriah Pontianak dilaksanakan oleh Sultan bersama-sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Sultan Kadriah Pontianak akan mendapatkan perlindungan seperlunya dari Belanda.
- Sebagai biaya perlindungan dari Belanda kepada Sultan maka ditetapkan bahwa semua penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda dibagi sama rata di antara kedua belah pihak tersebut.
- Hasil pajak impor dan ekspor, penjualan candu, hasil monopoli garam, pajak dari kaum Tionghoa, dan lain-lain akan diatur oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
- Pengadilan untuk orang Eropa dan Tionghoa ada di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda, sedangkan pengadilan untuk orang pribumi tetap berada di bawah Sultan.
- Belanda berhak membangun tangsi tentara untuk melindungi pasukan Belanda yang ada di Pontianak (Rahman, 2000:112-113).
Sultan
Kadriah Pontianak berikutnya, yakni Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819
– 1855), melakukan perjanjian dengan pemerintah kolonial pada tahun
1819, 1822, dan 1823. Pada perjanjian tanggal 16 Maret 1822, misalnya,
Belanda memaksakan bahwa penghasilan Kesultanan Kadriah Pontianak harus
dibagi dua dengan pemerintah kolonial. Di sisi lain, kesultanan tidak
lagi mendapatkan setengah dari penghasilan Belanda, namun hanya diberi
tunjangan sebesar 42.000 gulden setiap tahun. Selain itu, dalam
perjanjian tanggal 14 Oktober 1823 disebutkan bahwa kekuasaan pengadilan
Belanda diperluas mencakup pengadilan untuk rakyat Kesultanan Kadriah
Pontianak (Rahman, 2000:117-118). Aturan ini berlaku hingga masa
pemerintahan Sultan Hamid Alqadrie (1855 – 1872).
Selanjutnya, pada era Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), Belanda kembali memperbaharui kontrak politiknya pada tanggal 22 Agustus 1872, yang antara
lain menyatakan bahwa kekuasaan kepolisian terhadap penduduk pribumi
di luar kuasa Belanda diserahkan lagi kepada Kesultanan Kadriah
Pontianak. Selain itu, kesultanan boleh memungut pajak di wilayahnya.
Pengembalian kekuasaan kepolisian itu disebabkan karena penduduk
pribumi hanya mau tunduk dan mentaati kekuasaan kesultanan. Demikian
pula dengan penyerahan hasil pajak kepada kesultanan yang hanya
didasarkan atas pertimbangan teknis untuk kepentingan Belanda karena
bagaimanapun juga hasil pajak tetap dibagi dua dengan Belanda (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Hegemoni Belanda berlanjut pada
era Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895 –1944), di mana terdapat
aturan baru yang antara lain menyebutkan bahwa (1) Belanda berhak ikut-campur
dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pegawai kesultanan; (2)
Syariat Islam dihapuskan sebagai sumber hukum di Kesultanan Kadriah
Pontianak dan diganti dengan hukum perdata dan hukum pidana; serta (3)
Seluruh pegawai kesultanan mendapat gaji dari pemerintah kolonial.
Dengan demikian, Belanda telah menguasai sistem pemerintahan Kesultanan
Kadriah Pontianak. Seluruh pegawai kesultanan dianggap sebagai pegawai
pemerintah kolonial, termasuk Sultan Syarif Muhammad sendiri (Hidayat,
tt:23).
Setelah
Indonesia merdeka, meski Kesultanan Kadriah Pontianak masih tetap
eksis di bawah pimpinan Sultan Hamid II, terjadi perubahan sistem
pemerintahan Kota Pontianak. Pada tanggal 14 Agustus 1946, dinyatakan
bahwa Platselijk Fonds, yang diterapkan sejak tahun 1779, diganti dengan Stadsgemeente (semacam swapraja) yang bertahan sampai tahun 1950 (www.pemkot.pontianak.go.id). Pada tanggal 5
Januari 1950, Sultan Hamid II meletakkan jabatan sebagai Sultan
Kadriah Pontianak dan pada 5 April 1950 ia ditangkap karena diduga
terlibat dalam kudeta Westerling. Setelah Sultan Hamid dihukum penjara
sejak tahun 1953, riwayat Kesultanan Kadriah Pontianak pun berakhir.
Sejak tahun 1950, status Stadsgemeente Pontianak berubah menjadi Pemerintah Daerah Kota Besar Pontianak yang dipimpin oleh walikota dan bersifat otonom.
Selanjutnya, sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan
Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk pemerintahan Kota
Besar Pontianak ditingkatkan menjadi Kotapraja Pontianak. Pemerintahan
Kota Praja Pontianak berubah lagi menjadi Kotamadya Pontianak sejak
tahun 1965 dan akhirnya menjadi Daerah Tingkat II Pontianak berdasarkan
Undang-Undang No.5 Tahun 1974 (www.pemkot.pontianak.go.id). Sampai sekarang, Daerah Tingkat II Pontianak termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
4. Wilayah Kekuasaan
Sebelum mendirikan Kesultanan Kadriah Pontianak, Syarif
Abdurrahman Alqadrie terlebih dulu mendirikan permukiman sementara di
sebuah pulau kecil bernama Batu Layang yang terletak 15 kilometer dari
muara Sungai Kapuas. Batu Layang inilah yang kemudian dijadikan sebagai
tempat permakaman sultan-sultan yang pernah memimpin Kesultanan
Kadriah Pontianak. Pada tanggal 23 Oktober 1771 M, Abdurrahman Alqadrie
berlabuh di tepian Sungai Kapuas dan membangun surau yang kelak
menjadi Masjid Jami’ Syarif Abdurrahman Alqadrie. Selanjutnya,
Abdurrahman Alqadrie mempersiapkan permukiman yang letaknya menjorok ke
darat sekitar 800 meter dari surau. Permukiman itulah yang kemudian
menjadi wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Kadriah – Pontianak
(Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Masjid Jami' dilihat dari sungai Kapuas |
Tidak
lama setelah resmi menjadi Sultan Kadriah Pontianak pada tahun 1778 M,
Abdurrahman Alqadrie melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas
wilayahnya. Pada tahun 1778 M itu, Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil
menduduki wilayah Kerajaan Sanggau sekaligus menguasai jalur
perdagangan ke pedalaman Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan
atas wilayah Sanggau, Sultan Abdurrahman Alqadrie mendirikan benteng
yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi, yang merupakan pulau
milik Kerajaan Sanggau. Selain itu, dalam kontrak politik antara
Kesultanan Kadriah Pontianak dan Belanda tanggal 5 Juli 1779, pihak
Belanda menyebut bahwa Pontianak dan Sanggau sebagai satu kerajaan di
bawah Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie (Rahman, 2000:81).
Kemudian,
karena dipengaruhi oleh tekanan Belanda, Kesultanan Kadriah Pontianak
kembali melancarkan ekspansi ke sejumlah kerajaan di Kalimantan Barat
untuk semakin memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun 1786 M,
Kesultanan Kadriah Pontianak menyerang Kesultanan Tanjungpura di
Sukadana. Kemudian, tahun 1787 M, Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie
berhasil menaklukkan Kesultanan Mempawah (Rahman, 2000:109-110). Dengan
demikian, daerah-daerah yang semula termasuk ke dalam wilayah
Kesultanan Tanjungpura dan Mempawah beralih-tangan menjadi wilayah
kekuasaan Kesultanan Kadriah Pontianak.
Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan
Syarif Yusuf Alqadrie (1872 – 1895), wilayah Kesultanan Kadriah
Pontianak banyak didatangi kaum imigran dari berbagai tempat. Misalnya
orang-orang Bugis dari Sulawesi yang menetap di kawasan Pantai Jungkat
dan Peniti untuk bertani atau menjadi nelayan, sehingga sampai sekarang
terdapat daerah yang disebut Kampung Dalam Bugis di Pontianak bagian
timur. Selain para imigran dari Bugis, banyak pula imigran dari Banjar,
Bangka Belitung, Serasan, Tambelan, Sampit, bahkan dari Malaka,
Kamboja, dan Vietnam, yang datang kemudian bermukim di wilayah
Kesultanan Kadriah Pontianak. Maka kemudian di Pontianak terdapat
Kampung Banjar, Kampung Bangka Belitung, Kampung Serasan, Kampung
Tambelan, Kampung Sampit, juga Kampung Saigon (Rahman, 2000:127).
Era pemerintahan Sultan
Syarif Yusuf Alqadrie juga diwarnai dengan perjanjian mengenai
batas-batas wilayah antara Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan
Landak, yakni kesepakatan yang ditandatangani pada tanggal 3 Agustus
1886. Perbatasan yang ditegaskan dalam sebuah peta tersebut menyatakan
bahwa perbatasan Kesultanan Kadriah Pontianak dan Kesultanan Landak
dimulai dari Bukit Batu, kemudian ke Kubu Sengkubu dan Kuala Keramas,
melintasi Kuala Terap hingga ke Hulu Sungai Menuntung, dan berakhir di
Gunung Banua atau Gunung Ambawang (Rahman, 2000:127).
(Iswara NR/Ker/02/12-2009)
Referensi:
- Ansar Rahman, et.al. 2000. Syarif Abdurrahman Alkadri, perspektif sejarah berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika – Pemerintah Kota Pontianak.
- J.U. Lontaan. 1975. Sejarah hukum adat dan adat-istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
- Jimmy Ibrahim. 1971. Dua ratus tahun Kota Pontianak. Pontianak: Pemda Kotamadya Pontianak.
- M.S. Suwardi. 1983. Raja Haji Marhum Teluk Ketapang Malaka. Pekanbaru: Universitas Riau.
- Mahayudin Haji Yahya. 1999. “Islam di Pontianak berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain Al-Qadri”, disampaikan dalam Seminar Brunei Malay Sultanate in Nusantara, Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.
- Mawardi Rivai. 1995. Peristiwa Mandor. Pontianak: Romeo Grafika.
- Mohammad Hatta. 1978. Bung Hatta menjawab. Jakarta Gunung Agung.
- Muhammad Hidayat. Tanpa tahun. “Istana Kesultanan Kadriah – Pontianak”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
- Muhammad Yanis. 1983. Kapal Terbang Sembilan. Pontianak – Jakarta: Yayasan Universitas Panca Bahti – PT. Inti Daya Press.
- Musni Umberan, et.al. 1995. Sejarah kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Kajian dan Nilai Tradisional Pontianak.
- “Sejarah Kota Pontianak”, diunduh pada tanggal 27 Desember 2009 dari www.pemkot.pontianak.go.id/sejarah.html.
- Syarif Ibrahim Alqadrie. 1979. Kesultanan Pontianak di Kalimatan Barat: Dinasti dan pengaruhnya di Nusantara. Pontianak: DP3M dan UNTAN.
- Syarif Ibrahim Alqadrie. 2005. “Kesultanan Qadariyah Pontianak: Perspektif sejarah dan sosiologi politik”, disampaikan dalam Seminar Kerajaan Nusantara oleh Kerajaan Pahang – Universiti Malaya, Malaysia: 8 – 11 Mei 2005. Diunduh pada tanggal 23 Desember 2009 dari http://syarif-untan.tripod.com/Budaya.htm.
- Yayasan Sultan Hamid II Jakarta. 2007. “Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara Republik Indonesia”, diunduh pada tanggal 22 Desember 2009 dari istanakadriah.blogspot.com.
Sumber Foto:
- Foto-foto Istana Kadriah Pontianak dan Masjid Jami’ Pontianak koleksi www.wisatamelayu.com.
- Foto-foto koleksi www.istanakadriah.blogspot.com.
- wikimedia.org
- http://flagspot.net/flags/id-prp.html#pontianak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar