Kerajaan Kubu
Kesultanan Kubu
Kesultanan Kubu adalah sebuah pemerintahan kerajaan Islam yang daerah kekuasaannya sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Data yang ditemukan menyebutkan, asal-muasal berdirinya Kesultanan Kubu adalah berkat prakarsa orang-orang Arab yang datang dari Hadramaut (Yaman Selatan), kira-kira pada tahun 1720 Masehi, atau tepatnya pada tanggal 17 Ramadhan tahun 1144 dalam penanggalan Islam (Hijriah). Dengan demikian, asal-muasal Kesultanan Kubu persis dengan sejarah berdirinya Kesultanan Pontianak
dan sama-sama menjadi pemerintahan Islam berbasis Arab yang ada di
tanah Melayu, khususnya yang terdapat di Provinsi Kalimantan Barat.
1. Sejarah
Riwayat
Kesultanan Kubu diawali dengan kedatangan serombongan orang yang
berasal dari sebuah tempat bernama Ar-Ridha yang terletak di Kota Trim,
Hadramaut, atau yang sekarang bernama Yaman Selatan. Rombongan yang
datang ke wilayah Kalimantan Barat pada kira-kira tahun 1720 M ini
berjumlah kurang lebih 45 orang. Perantauan orang-orang Islam yang
datang dari Hadramaut itu bertujuan untuk menyiarkan agama Islam ke
negeri-negeri seberang.
Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya
J.U. Lontaan (1975), disebutkan nama-nama tokoh yang mempelopori
perjalanan rombongan dari Hadramaut itu ke negeri-negeri Melayu, yakni
Syarif Hussein Jammael yang kemudian memakai nama Syarif Habib Hussein
Alqadrie, Sayyid Idrus bin Sayyid Abdul Rahman al-Idrus atau Syarif
Idrus, Syarif Abdurrakhman As Sagaf, dan Syarif Akhmad (Lontaan
1975:217). Gelar Sayyid atau Habib atau Syarif menandakan bahwa
orang-orang ini termasuk keturunan Nabi Muhammad. Syarif Idrus kelak
menurunkan sultan-sultan yang memerintah Kesultanan Kubu sedangkan
Syarif Hussein Jammael atau Syarif Habib Hussein Alqadrie menurunkan
sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Kadriah di Pontianak.
a. Asal-usul Berdirinya Kesultanan Kubu
Syarif
Habib Hussein Alqadrie, Syarif Idrus, Syarif Abdurrakhman As Sagaf,
dan Syarif Akhmad adalah saudara satu seperguruan. Perjalanan menuju ke
negeri-negeri Timur dilakukan atas saran guru besar mereka dengan
tujuan untuk menemukan daerah yang subur sekaligus untuk menyebarkan
ajaran Islam hingga akhirnya mereka menginjakkan kaki di Terengganu
(sekarang termasuk ke dalam wilayah negara Malaysia) untuk kemudian
menuju ke Aceh, lalu ke Palembang.
Mereka
menetap cukup lama di Palembang, bahkan Syarif Idrus kemudian
dinikahkan dengan puteri Sultan Palembang pada tahun 1747. Syarif Idrus
memiliki beberapa orang anak dari perkawinannya dengan putri Sultan
Palembang, antara lain Syarif Muhammad bin Syarif Idrus al-Idrus,
Syarif Alwi bin Syarif Idrus al-Idrus, Syarif Abdurrahman bin Syarif
Idrus, Syarif Mustafa bin Syarif Idrus al-Idrus, dan Syarifa Muzayanah
binti Syarif Idrus al-Idrus. Dari Palembang, rombongan ini kemudian
menyusuri pesisir pulau Jawa, antara lain ke Banten, Betawi, Cirebon,
Demak, Mataram, hingga bagian timur Jawa (Mahayudin Haji Yahya,
1999:224-225).
Selanjutnya,
rombongan tersebut berlabuh di Semarang dan bermukim di kota itu
selama dua tahun. Ketika menetap di Semarang, rombongan pendakwah dari
Timur Tengah itu memperoleh informasi bahwa ada suatu tempat yang subur
di seberang lautan. Maka dari itu, mereka kemudian menyeberangi Laut
Jawa dan sampailah ke wilayah Kesultanan Matan/Tanjungpura
di Ketapang, Kalimantan Barat. Kehadiran rombongan penyiar Islam itu
disambut baik oleh keluarga Kesultanan Matan. Bahkan oleh rakyat
Matan, mereka sangat dihormati bagaikan wali (Musni Umberan, et.al., 1995:46-47).
Tidak
lama setelah menetap di Kesultanan Matan dan mengajarkan Islam kepada
penduduknya, rombongan Syarif Idrus memutuskan untuk menuju Kerajaan Mempawah
(sekarang terletak di Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat). Namun,
tidak semua anggota rombongan mengikuti kebijakan Syarif Idrus.
Sebagian yang lain, terutama para pengikut Syarif Habib Hussein
Alqadrie, memilih bertahan di Kesultanan Matan. Rombongan besar dari
Yaman Selatan ini pun kemudian terbagi. Rombongan di bawah pimpinan
Syarif Idrus segera bersiap untuk berlayar menuju Kerajaan Mempawah, sedangkan para pendukung Syarif Habib Hussein Alqadrie tetap tinggal di Kesultanan Matan untuk beberapa lama lagi.
Perjalanan rombongan Syarif Idrus dilakukan melalui jalan laut, kemudian masuk ke Sungai Kapuas Kecil yang pada waktu itu masih tertutup hutan belantara. Dalam perjalanan menyusuri sungai selama beberapa hari, rombongan itu tertarik pada suatu cabang sungai, terutama Syarif Idrus yang merasa bahwa tempat tersebut sangat baik sebagai tempat permukiman (Lontaan, 1975:218). Rombongan Syarif Idrus kemudian berlabuh di persimpangan sungai, yakni di daerah muara. Dengan demikian, mereka tidak melanjutkan perjalanan yang pada awalnya bertujuan ke Kerajaan Mempawah.
Pada akhirnya nanti, justru rombongan Syarif Habib Hussein Alqadrie yang tiba di Mempawah dan diterima dengan baik oleh keluarga Kerajaan Mempawah yang saat itu dipimpin oleh Opu Daeng Manambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740-1761 M). Husein Alqadrie kemudian diangkat sebagai patih dan imam besar Kerajaan Mempawah dan diperkenankan menempati daerah Kuala Mempawah (Galah Herang) sebagai pusat pengajaran agama Islam di Mempawah.
Anak
lelaki Husein Alqadrie yang bernama Syarif Abdurrahman Alqadrie
kemudian dinikahkan dengan putri Opu Daeng Menambon, bernama Putri
Candramidi (Erwin Rizal, tt:40). Kelak, Syarif Abdurrahman Alqadrie
mendirikan Kesultanan Kadriah di Pontianak. Meski sudah merintis
pendirian Kadriah sejak tahun 1771 M, namun baru pada tahun 1778 M
Abdurrahman Alqadrie secara resmi dinobatkan sebagai Sultan Kadriah
Pontianak dengan gelar Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie yang berkuasa
sampai tahun 1808 M (Alqadrie, 2005, dalam
http://syarif-untan.tripod.com).
Tidak lama setelah didirikan, permukiman baru yang dibangun Syarif Idrus didatangi banyak orang dan kemudian terjadi saling interaksi lintas etnis dan budaya di sana. Setiap hari, orang-orang dari Suku Dayak yang berlalu-lalang di Sungai Kapuas Kecil, menyempatkan diri untuk mengunjungi kampung baru yang didirikan Syarif Idrus itu. Orang-orang Suku Dayak itu tertarik dengan segala hal baru yang mereka temukan di tempat tersebut, terutama kepemimpinan Syarif Idrus. Bahkan, mereka menawarkan diri untuk diizinkan bergabung di bawah kepemimpinan Syarif Idrus. Maka kemudian permukiman itu semakin lama semakin besar dan perlahan-lahan berubah menjadi sebuah bandar perdagangan yang sangat ramai (Lontaan, 1975:220). Pada tahun 1772 M, seluruh rakyat bersepakat mengangkat Syarif Idrus menjadi pemimpin mereka. Di bawah pimpinan Syarif Idrus, banyak kemajuan yang diperoleh, terutama dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan perdagangan.
Kemakmuran permukiman yang didirikan oleh Syarif Idrus di tepi Sungai Kapuas Kecil ternyata memancing niat buruk gerombolan perompak (lanun) untuk menjarahnya. Beberapa kali perkampungan Syarif Idrus menjadi korban keganasan para bajak laut sehingga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Syarif Idrus kemudian memutuskan kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah di pinggir anak Sungai Kapuas Besar (dikenal juga dengan nama Sungai Terentang) dan membuat sistem pertahanan yang lebih kuat sebagai langkah untuk mengantisipasi serangan dari luar. Kubu pertahanan dibuat dengan cara menimbun sungai agar tidak dapat dicapai oleh musuh (Rizal, tt:44).
Sejak benteng pertahanan tersebut dibangun dengan kokoh, mulailah orang menamakan kampung itu dengan sebutan Kubu yang berlaku hingga saat ini. Benteng pertahanan yang dibangun oleh para pengikut setia Syarif Idrus terbukti kuat. Kendati telah berkali-kali mendapat serangan dari musuh, tapi benteng pertahanan ini masih cukup ampuh menahannya. Inilah awal mula mengapa tempat itu disebut dengan nama Kubu dan kemudian menjadi Kesultanan Kubu.
Kedigdayaan
benteng tersebut justru membuat penduduk Kubu menjadi lengah. Mereka
terlanjur sangat meyakini bahwa benteng perkampungan mereka tidak dapat
ditembus oleh musuh yang sekuat apapun. Mereka tidak memperhitungkan
lagi bahwa musuh tetap mencari akal untuk menerobos benteng hingga
pada suatu ketika, terjadilah serbuan mendadak dari orang-orang Siak.
Karena dalam kondisi yang tidak siap, pihak Kubu menjadi kocar-kacir
karena serangan itu.
Saat
serbuan itu terjadi, Syarif Idrus yang sedang menunaikan ibadah shalat
akhirnya tewas terbunuh. Atas kejadian tersebut, penduduk Kubu dan
keturunannya bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk
menikah dan dinikahi, dengan dan oleh orang Siak beserta anak-cucunya
(Lontaan, 1975:221). Kejadian penyerangan Kubu oleh Siak itu terjadi di
penghujung abad ke-18, atau kira-kira pada tahun 1795.
b. Kesultanan Kubu pada Masa Kolonial
Sebelum
gugur, Syarif Idrus ternyata telah membuka pintu bagi Belanda dengan
bersedia menandatangani kontrak politik yang menyepakati sejumlah pasal,
terutama dalam hal pembagian wilayah kekuasaan dan dalam bidang
ekonomi. Pada medio abad ke-18 itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde
Oost indische Compagnie) yang dibentuk sejak 20 Maret 1602 M, sudah
menanamkan pengaruhnya di beberapa kerajaan di Kalimantan Barat dengan kedudukan yang berpusat di Pontianak (Alqadrie, 2005, dalam http://syarif-untan.tripod.com).
Sepeninggal
Syarif Idrus, pemerintahan Kesultanan Kubu dilanjutkan oleh putera
mahkota yang bernama Syarif Muhammad bin Syarif Idrus. Di bawah
kepemimpinan Sultan Syarif Muhammad yang berlangsung sejak tahun 1795 M,
hegemoni Belanda masih kental dalam mempengaruhi pemerintahan
Kesultanan Kubu. Pengaruh Belanda bertahan lama dan mencapai puncak
dengan disepakatinya kontrak politik tertanggal 7 Juni 1823 antara
Belanda dengan Sultan Syarif Muhammad (Lontaan, 1975:221).
Pasal-pasal yang termaktub dalam kontrak politik itu sangat menguntungkan Belanda. Kenyataan itu membuat beberapa kalangan dari keluarga Kesultanan Kubu merasa tidak senang. Salah seorang keluarga Kesultanan Kubu yang paling keras mengecam kontrak politik dengan Belanda itu adalah Syarif Alwi bin Syarif Idrus, yang tidak lain adalah saudara sekandung Sultan Syarif Muhammad. Sebagai bentuk kekecewaan, Syarif Alwi keluar dari wilayah Kubu dan menuju daerah Gunung Ambawang bersama para pengikutnya.
Di Gunung Ambawang, Syarif Alwi bin Syarif Idrus mendirikan pemerintahan baru yang kemudian dikenal dengan nama Kesultanan Ambawang, yang sebenarnya didirikan di daerah kekuasaan Kesultanan Kubu. Selain itu, Syarif Alwi menunjukkan rasa ketidaksukaannya terhadap Belanda dengan mengibarkan bendera Inggris di wilayah kekuasaannya. Tindakan Syarif Alwi yang mendirikan pemerintahan baru tanpa seizin Belanda, ditambah dengan pengibaran bendera Inggris yang notabene merupakan pesaing Belanda di Asia Tenggara, jelas memantik kemurkaan pihak Kompeni. Syarif Alwi kemudian dikejar-kejar pasukan Belanda hingga kemudian ia meminta perlindungan dan menetap di Serawak (sekarang termasuk wilayah Malaysia) yang merupakan daerah jajahan Inggris (www.pontianakonline.com).
Pada tahun 1829, Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Idrus meninggal dunia. Kedudukan almarhum sebagai pemimpin Kesultanan Kubu dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Syarif Abdul Rahman bin Syarif Muhammad. Pemerintahan Sultan Syarif Abdul Rahman tidak luput dari campur tangan Belanda. Pada tanggal 7 Juni 1829, Sultan Syarif Abdul Rahman menandatangani kontrak politik yang disodorkan oleh Belanda. Hegemoni Belanda terhadap eksistensi Kesultanan Kubu masih berlanjut pada era sultan-sultan berikutnya.
Pengganti
Sultan Syarif Abdul Rahman adalah Sultan Syarif Ismail bin Syarif
Abdul Rahman yang dinobatkan sebagai Sultan Kubu dan sekaligus
menandatangani kontrak politik dengan Belanda pada tanggal 28 Mei 1841.
Setelah pemerintahan Sultan Syarif Ismail berakhir pada tahun 1864,
yang berhak naik tahta sebagai Sultan Kubu yang berikutnya adalah
putera mahkota, yakni Syarif Zin bin Ismail. Namun karena Syarif Zin
bin Ismail dianggap belum cukup umur untuk memimpin, maka yang kemudian
ditabalkan sebagai Sultan Kubu adalah Syarif Hassan bin Syarif Abdul
Rahman, saudara dari Sultan Syarif Ismail. Sultan Hassan menyepakati
kontrak politik dengan Belanda pada tanggal 27 Juni 1871 (Lontaan,
1975:223).
Kesultanan
Kubu mengalami masa gemilang pada era pemerintahan Sultan Syarif
Hassan. Kejayaan yang dicapai oleh Kesultanan Kubu terutama dalam bidang
pertahanan, perdagangan, dan pembangunan (Rizal, tt:45). Sultan
Syarif Hassan telah membangun tata kota yang baik dan teratur. Selain
itu, selama masa kepemimpinannya, Sultan Syarif Hassan juga membenahi
sarana transportasi, bahkan jalan-jalan yang menuju daerah-daerah
pedalaman pun diperbaiki. Kemungkinan besar, pada masa pemerintahan
Sultan Syarif Hassan inilah pembangunan Masjid Jami Khairu Sa’adah,
yang menjadi masjid agung Kesultanan Kubu, mulai dilakukan.
Syarif
Zin bin Ismail, putera almarhum Sultan Syarif Ismail, adalah orang
yang seharusnya paling punya hak untuk bertahta di Kesultanan Kubu
karena naiknya Sultan Syarif Hassan, yang tidak lain adalah paman
Syarif Zin bin Ismail, sebagai pemimpin Kesultanan Kubu adalah sebagai
pemangku kesultanan sembari menunggu Syarif Zin bin Ismail tumbuh
dewasa dan sanggup menjadi pemimpin. Namun kenyataan yang terjadi
tidaklah demikian karena yang dinobatkan sebagai Sultan Kubu
selanjutnya justru anak lelaki Sultan Syarif Hassan, yaitu Syarif Abbas
bin Syarif Hassan. Sultan baru ini menandatangani kontrak politik
dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 8 November 1900.
Pemerintahan Sultan Syarif Abbas di Kesultanan Kubu berakhir pada
tahun 1911.
c. Akhir Riwayat Kesultanan Kubu
Kandasnya kepemimpinan Sultan Syarif Abbas bin Hassan bukan karena sang Sultan mangkat, melainkan diturunkan secara paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Lengsernya Sultan Syarif Abbas bin Hassan dari singgasana Kesultanan Kubu membuka peluang bagi Syarif Zin bin Syarif Ismail untuk mengambil-alih tahta yang sebenarnya telah menjadi haknya sejak lama. Meski sempat terjadi pergolakan antara pihak Sultan Syarif Abbas bin Syarif Hassan melawan pihak Syarif Zin bin Syarif Ismail, namun pada akhirnya Sultan Syarif Abbas mengalami kekalahan dan terpaksa mempersilakan Syarif Zin naik tahta sebagai penggantinya.
Peralihan
pemerintahan Kesultanan Kubu ini disetujui oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda yang segera menyodorkan surat kontrak politik tertanggal
26 September 1911 kepada Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail. Setahun sebelum
kontrak politik itu ditandatangani, yaitu pada tahun 1910, pemerintah
kolonial Hindia Belanda sebenarnya telah membentuk suatu lembaga
pemerintahan bernama Bestuur Commite yang fungsi dan
wewenangnya kurang lebih sebagai instansi bentukan Belanda untuk
mengawasi jalannya pemerintahan Kesultanan Kubu. Seorang
kerabat Kesultanan Kubu, bernama Syarif Kasimin, dipercaya oleh Belanda
untuk memimpin lembaga pemerintahan ala kolonial itu. Belanda juga
mengangkat seorang abdi setia bernama Syarif Saleh untuk ikut
mengurusi Bestuur Commite (Lontaan, 1975:223).
Oleh Belanda, Syarif Kasimin ditetapkan untuk membawahi daerah Tanjung Bunga, sedangkan Syarif Saleh diberi wewenang di daerah Kubu sampai ke Padang Tikar. Besar kemungkinan, karena merasa kewenangannya sebagai Sultan semakin dipersempit oleh Belanda, Sultan Syarif Zin bin Ismail kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Kerta Mulia. Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Kubu itu juga dimungkinkan terjadi karena diadakannya perkawinan antara putera Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail, yakni Syarif Agel bin Syarif Zin, dengan seorang perempuan bangsawan bernama Syarifa binti Syarif Said. Dalam rangka perkawinan ini, Syarif Said, ayah dari calon mempelai perempuan, berjanji akan menghadiahkan sebidang tanah yang luas kepada Syarif Agel. Tanah pemberian inilah yang kemudian digunakan Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Kubu.
Lontaan (1975) menulis bahwa Syarif Agel bin Syarif Zin tidak pernah menduduki tahta Kesultanan Kubu. Karir puncaknya hanya sebagai Menteri I dalam pemerintahan ayahnya (Lontaan, 1975:226). Di samping Syarif Agil, Sultan Syarif Zin sejatinya juga memiliki anak lelaki lainnya yang telah ditetapkan sebagai putera mahkota, yaitu yang bernama Syarif Hassan bin Syarif Zin. Akan tetapi, hingga Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail menghembuskan nafas penghabisan pada tahun 1921, Syarif Hassan bin Syarif Zin dianggap belum cukup umur untuk menggantikan sang ayah sebagai Sultan Kubu. Maka dari itu, ditunjuklah Syarif Saleh, keturunan Syarif Idrus, sebagai pemangku adat Kesultanan Kubu untuk sementara sembari menunggu putera mahkota tumbuh dewasa.
Syarif
Hassan bin Syarif Zin adalah anak lelaki tertua dari Sultan Syarif
Zin bin Syarif Ismail. Ia menamatkan pendidikan di Hollandsch
Inlandsche School (HIS) di Pontianak pada tahun 1925. Setelah itu,
Syarif Hassan bin Syarif Zin dikirim ke Ketapang untuk bekerja sebagai
leerling schryver (juru buku) selama dua warsa hingga tahun 1927. Syarif Hassan bin Syarif Zin kemudian kembali ke Pontianak untuk bekerja di kantor Asisten Residen sampai tahun 1930 sebelum dipindahkan ke Sanggau pada tahun yang sama. Syarif Hassan bin Syarif Zin tidak bertahan lama di Sanggau karena setahun kemudian ia kembali lagi ke Pontianak untuk bekerja di kantor Kontrolir Pontianak. Pada tahun 1933, putra mahkota Kesultanan Kubu ini merantau hingga ke Batavia (Lontaan, 1975:226).
Syarif
Hassan bin Syarif Zin berada di pusat pemerintahan kolonial Hindia
Belanda di Batavia selama sepuluh tahun hingga kekuasaan Belanda di
Indonesia berakhir dan digantikan oleh pendudukan tentara Jepang. Pada
tahun 1943, ia kembali ke kampung halamannya menuruti panggilan
pemerintah militer Jepang yang telah membentuk Komite Pemerintahan
untuk Kesultanan Kubu. Sultan Syarif Saleh sendiri telah turun tahta
pada tahun 1943 itu. Komite Pemerintahan untuk Kesultanan Kubu bentukan
Jepang terdiri dari tiga anggota, yaitu Syarif Hassan bin Syarif Zin,
Syarif Jusuf bin Husin, dan Anang Dardi. Setelah Jepang menyerah
kepada tentara Sekutu pada tahun 1944 hingga setahun kemudian
Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pemerintahan Kesultanan Kubu
sempat vakum karena faktor politik dan keamanan yang belum stabil.
Pada tahun 1949, seiring pengakuan kedaulatan penuh dari Belanda kepada Indonesia, Syarif Hassan bin Syarif Zin diangkat sebagai pemimpin daerah otonomi Kesultanan Kubu. Jabatan tersebut diampunya hingga pada tahun 1958 di mana pada tahun itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan wilayahnya diserahkan kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak saat itu, wilayah Kesultanan Kubu berubah menjadi kecamatan yang beribukota di Kota Kubu dan berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat (Rizal, tt:46). Pada tahun 2007, Kecamatan Kubu dimekarkan dari Kabupaten Pontianak dan menjadi kabupaten baru dengan nama Kabupaten Kubu Raya.
2. Silsilah
Berikut
ini adalah daftar para pemimpin Kesultanan Kubu sejak awal berdirinya
hingga masa digabungkannya wilayah Kesultanan Kubu dengan negara
Republik Indonesia:
- Sayyid Idrus bin Sayyid Abdul Rahman al-Idrus atau Syarif Idrus (1772 – 1795)
- Sultan Syarif Muhammad bin Syarif Idrus (1795 – 1829)
- Sultan Syarif Abdul Rahman bin Syarif Muhammad (1829 – 1841)
- Sultan Syarif Ismail bin Syarif Abdul Rahman (1841 – 1864)
- Sultan Syarif Hassan bin Syarif Abdul Rahman (1864 – 1900)
- Sultan Syarif Abbas bin Syarif Hassan (1900 – 1911)
- Sultan Syarif Zin bin Syarif Ismail (1911 – 1921)
- Sultan Syarif Saleh bin Syarif Idrus (1921 – 1943)
- Sultan Syarif Hassan bin Syarif Zin (1943 – 1958) (Rizal, tt:45-46)
3. Sistem Pemerintahan
Pada
awal berdirinya, Kubu hanya merupakan sebuah perkampungan kecil yang
dibentuk atas prakarsa Syarif Idrus. Akan tetapi, lama-kelamaan
permukiman yang terletak di muara sungai tersebut semakin lama semakin
banyak didatangi orang, bahkan kemudian menjadi bandar dagang yang
ramai. Tidak hanya pengikut Syarif Idrus saja yang tinggal di tempat
itu, melainkan juga orang-orang Suku Dayak yang sebelumnya
sering melintas dan melihat ada permukiman penduduk di situ.
Orang-orang Suku Dayak tersebut kagum terhadap pola kehidupan dan
terutama gaya kepemimpinan Syeh Idrus. Oleh karena itu, orang-orang
Suku Dayak kemudian berkeputusan untuk menggabungkan diri ke wilayah
yang dipimpin Syarif Idrus.
Atas kesepakatan warga yang berasal dari berbagai etnis dan kalangan, kemudian diputuskan bahwa Syeh Idrus diangkat menjadi pemimpin mereka hingga kemudian tempat itu dikenal dengan nama Kesultanan Kubu (Lontaan, 1975:221). Sebelum Syarif Idrus gugur akibat serangan dari orang-orang Siak pada tahun 1795, raja pertama Kesultanan Kubu ini ternyata telah menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Sejak itu, jalannya sistem pemerintahan Kesultanan Kubu berada di bawah hegemoni Belanda karena secara turun-temurun, sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Kubu selalu bersedia mengadakan kesepakatan dengan Belanda.
Kontrak politik yang dibuat Belanda itu berisi hampir sama dengan kontrak politik serupa antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan lainnya
di Kalimantan Barat. Beberapa poin terpenting dalam perjanjian itu
antara lain (1) pihak Kesultanan dan Belanda mengatur sistem
pemerintahan dan mempertahankan Kesultanan bersama-sama; (2) jika
Sultan wafat, pihak Kesultanan boleh mengajukan calon Sultan kepada
Belanda, sementara yang berhak mengangkat Sultan secara resmi adalah
pihak Belanda; (3) Sultan mengangkat para menteri harus dengan
sepengetahuan pihak Belanda; (4) Sultan hanya boleh membangun benteng
atas persetujuan pihak Belanda; (5) sebaliknya, apabila Belanda hendak
mendirikan benteng, Sultan harus mengizinkan dan membantu pelaksanaan
pembangunan benteng Belanda tersebut.
Berikutnya,
(6) apabila ada tentara/pegawai Belanda yang lari kepada Sultan,
Sultan harus menyerahkannya kembali kepada pihak Belanda; (7) mata uang
Belanda yang berlaku di Batavia juga diberlakukan di wilayah
Kesultanan; (8) Sultan tidak diharuskan memungut cukai kepada pihak
Belanda; (9) harga jual atas hasil hutan dan hasil bumi di wilayah
Kesultanan ditentukan oleh pihak Belanda; (10) bila terjadi serangan
dari luar, pihak Belanda akan membantu Sultan; (11) Sultan dan daerah
bawahannya wajib membantu Belanda terhadap serangan musuh yang datang
dari darat dan laut; dan (12) Sultan dihimbau agar mengadakan upacara
sebagai bentuk kesetiaan kepada Belanda (Hasanudin & Budi
Kristanto, dalam Humaniora, No.1/2001).
Pada tahun 1910, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Bestuur Commite, sebuah lembaga pemerintahan untuk mengawasi jalannya pemerintahan Kesultanan Kubu. Syarif Kasimin, salah seorang kerabat Kesultanan Kubu, diangkat oleh Belanda untuk memimpin Bestuur Commite.
Belanda juga mengangkat seorang abdi setia bernama Syarif Shaleh
untuk ikut mengurusi lembaga bentukan kolonial itu (Lontaan, 1975:223).
Pemerintahan Kesultanan Kubu juga memiliki lembaga internal yang dinamakan Dewan Kesultanan. Anggota-anggota dari lembaga ini adalah orang-orang yang berasal dari keluarga Kesultanan Kubu. Fungsi Dewan Kesultanan adalah sebagai penasihat kesultanan dan mampu mempengaruhi kebijakan Sultan meski keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan. Dewan Kesultanan juga dapat memainkan perannya ketika terjadi pemilihan kandidat calon Sultan sebelum diserahkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang berakhir, wilayah Kesultanan Kubu dijadikan sebagai wilayah Self Bestuur (kurang
lebih setara dengan daerah otonomi) sejak tahun 1949-1958. Pada tahun
1958 itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan menggabungkan diri
sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota
Kubu kemudian menjadi ibukota Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak,
Provinsi Kalimantan Barat (Lontaan, 1975:226).
Sejak
tahun 2007, Kecamatan Kubu telah resmi dikembangkan menjadi Kabupaten
Kubu Raya dan disahkan dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Kubu Raya di Provinsi Kalimantan Barat pada
tanggal 10 Agustus 2007 dan untuk pertamakalinya telah mengadakan
Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) Kabupaten Kubu Raya pada tanggal 25
Oktober 2008.
4. Wilayah Kekuasaan
Tempat
pertama yang dipilih oleh Syarif Idrus sebagai pusat pemerintahannya
adalah di persimpangan atau muara Sungai Kapuas Kecil atau yang dikenal
juga dengan nama Terentang. Lama-kelamaan, karena wilayah ini
berhasil membangun benteng pertahanan yang sangat kokoh sehingga sulit
ditembus oleh musuh dari luar, permukiman penduduk di bawah pimpinan
Syarif Idrus ini kemudian dinamakan dengan sebutan Kubu.
Setelah
menjelma menjadi pemerintahan bercorak Islam yang berbentuk
kesultanan, Kubu memiliki wilayah yang cukup luas. Pemerintahan Islam
di Kesultanan Kubu beribukota di Kota Kubu sebagai pusat pemerintahan,
dan kota ini masih dipertahankan hingga sekarang sebagai ibukota
Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Sebuah tempat di
dataran tinggi, yakni Gunung Ambawang, juga menjadi bagian dari
wilayah Kesultanan Kubu. Di Gunung Ambawang pernah berdiri sebuah kerajaan lain
bernama Kesultanan Ambawang yang didirikan oleh salah seorang putera
Syarif Idrus, yaitu Syarif Alwi bin Syarif Idrus. Syarif Alwi membelot
dari Kubu karena tidak suka melihat campur-tangan Belanda dalam
urusan-urusan internal Kesultanan Kubu yang kala itu dipimpin oleh
saudaranya sendiri, Sultan Syarif Muhammad.
Ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda membentuk Bestuur Komite (Komite
Pemerintahan) pada tahun 1910, ditunjuklah dua orang kerabat
kesultanan untuk memimpin daerah-daerah yang menjadi taklukan
Kesultanan Kubu. Kedua petinggi Kesultanan Kubu tersebut adalah Syarif
Kasimin yang ditetapkan oleh Belanda untuk memerintah daerah yang
bernama Tanjung Bunga, dan Syarif Saleh yang diberi wewenang untuk
memimpin di daerah Padang Tikar. Kini, kawasan situs Istana Kubu
merupakan kawasan yang berada di tepian Sungai Terantang. Sungai ini
merupakan jalur transportasi yang masih sangat penting dalam kawasan
tersebut dan itu masih berlaku hingga sekarang (Rizal, tt:45).
Selanjutnya, pada masa kepemimpinan Sultan Syarif Zin bin Ismail, pusat
pemerintahan Kesultanan Kubu dipindahkan ke daerah Kerta Mulia
(Lontaan, 1975:225).
Setelah
era Kesultanan Kubu berakhir pada tahun 1958, daerah kekuasaannya
dijadikan dalam satu wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kubu dengan
ibukota kecamatan di Kota Kubu. Tahun 2007, Kecamatan Kubu secara resmi
telah berubah menjadi Kabupaten Kubu Raya yang wilayahnya meliputi
daerah-daerah yang dahulu dikuasai oleh pemerintahan Kesultanan Kubu,
antara lain Batu Ampar, Terentang, Telok Pakedai, Sungai Kakap, Rasau
Jaya, Sungai Raya, Ambawang, dan Kuala Mandor-B.
Batas-batas wilayah Kabupaten Kubu Raya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak; di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, dan Kecamatan Tayan Hilir (Kabupaten Sanggau); di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau Maya Karimata (Kabupaten Ketapang); dan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna.
(Iswara N. Raditya/Ker/13/02-2010)
Referensi
- Hasanudin & Budi Kristanto. 2001. “Proses terbentuknya heterogenitas etnis di Pontianak pada abad ke-19”, dalam Humaniora, Volume XIII, No. 1/2001.
- J.U. Lontaan. 1975. Sejarah hukum adat dan adat-istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kalbar.
- Mahayudin Haji Yahya. 1999. “Islam di Pontianak berdasarkan Hikayat Al-Habib Husain Al-Qadri”, disampaikan dalam Seminar Brunei Malay Sultanate in Nusantara. Brunei Darussalam: The Sultan Haji Hasanal Bolkiah Foundation.
- Erwin Rizal, tt. “Istana Mempawah dan Kubu”, dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
- Musni Umberan, et.al. 1995. Sejarah kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat. Pontianak: Balai Kajian dan Nilai Tradisional Pontianak.
- “Sejarah Kerajaan Kubu”, diunduh pada tanggal 20 Februari 2010 dari www.pontianakonline.com.
- Syarif Ibrahim Alqadrie. 2005. “Kesultanan Qadariyah Pontianak: Perspektif sejarah dan sosiologi politik”, disampaikan dalam Seminar Kerajaan Nusantara oleh Kerajaan Pahang – Universiti Malaya, Malaysia: 8 – 11 Mei 2005. Diunduh pada tanggal 23 Desember 2009 dari http://syarif-untan.tripod.com.
- Sumber Foto: http://adiberkat.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar